DASAR pertama yang ditetapkan Islam, ialah: bahwa asal
sesuatu yang dicipta Allah adalah halal dan mubah. Tidak ada
satupun yang haram, kecuali karena ada nas yang sah dan
tegas dari syari' (yang berwenang membuat hukum itu sendiri,
yaitu Allah dan Rasul) yang mengharamkannya. Kalau tidak ada
nas yang sah --misalnya karena ada sebagian Hadis lemah--
atau tidak ada nas yang tegas (sharih) yang menunjukkan
haram, maka hal tersebut tetap sebagaimana asalnya, yaitu
mubah.
Ulama-ulama Islam mendasarkan ketetapannya, bahwa segala
sesuatu asalnya mubah, seperti tersebut di atas, dengan
dalil ayat-ayat al-Quran yang antara lain:"Dialah Zat yang menjadikan untuk kamu apa-apa yang ada di bumi ini semuanya." (al-Baqarah: 29)
Allah tidak akan membuat segala-galanya ini yang
diserahkan kepada manusia dan dikurniakannya, kemudian Dia
sendiri mengharamkannya. Kalau tidak begitu, buat apa Ia
jadikan, Dia serahkan kepada manusia dan Dia kurniakannya?
Beberapa hal yang Allah haramkan itu, justeru karena ada
sebab dan hikmat, yang --insya Allah-- akan kita sebutkan
nanti.
Dengan demikian arena haram dalam syariat Islam itu
sebenarnya sangat sempit sekali; dan arena halal malah
justeru sangat luas. Hal ini adalah justeru nas-nas yang
sahih dan tegas dalam hal-haram, jumlahnya sangat minim
sekali. Sedang sesuatu yang tidak ada keterangan
halal-haramnya, adalah kembali kepada hukum asal yaitu halal
dan termasuk dalam kategori yang dima'fukan Allah.
Untuk soal ini ada satu Hadis yang menyatakan sebagai
berikut:"Apa saja yang Allah halalkan dalam kitabNya, maka dia adalah halal, dan apa saja yang Ia haramkan, maka dia itu adalah haram; sedang apa yang Ia diamkannya, maka dia itu dibolehkan (ma'fu). Oleh karena itu terimalah dari Allah kemaafannya itu, sebab sesungguhnya Allah tidak bakal lupa sedikitpun." Kemudian Rasulullah membaca ayat: dan Tuhanmu tidak lupa.2 (Riwayat Hakim dan Bazzar) Dan sabda beliau juga, "Sesungguhnya Allah telah mewajibkan beberapa kewajiban, maka jangan kamu sia-siakan dia; dan Allah telah memberikan beberapa batas, maka jangan kamu langgar dia; dan Allah telah mengharamkan sesuatu, maka jangan kamu pertengkarkan dia; dan Allah telah mendiamkan beberapa hal sebagai tanda kasihnya kepada kamu, Dia tidak lupa, maka jangan kamu perbincangkan dia." (Riwayat Daraquthni, dihasankan oleh an-Nawawi)
Di sini ingin pula saya jelaskan, bahwa kaidah asal
segala sesuatu adalah halal ini tidak hanya terbatas dalam
masalah benda, tetapi meliputi masalah perbuatan dan
pekerjaan yang tidak termasuk daripada urusan ibadah, yaitu
yang biasa kita istilahkan dengan Adat atau Mu'amalat. Pokok
dalam masalah ini tidak haram dan tidak terikat, kecuali
sesuatu yang memang oleh syari' sendiri telah diharamkan dan
dikonkritkannya sesuai dengan firman Allah:
"Dan Allah telah memerinci kepadamu sesuatu yang Ia telah haramkan atas kamu." (al-An'am: 119)Ayat ini umum, meliputi soal-coal makanan, perbuatan dan lain-lain. Berbeda sekali dengan urusan ibadah. Dia itu semata-mata urusan agama yang tidak ditetapkan, melainkan dari jalan wahyu. Untuk itulah, maka terdapat dalam suatu Hadis Nabi yang mengatakan: "Barangsiapa membuat cara baru dalam urusan kami, dengan sesuatu yang tidak ada contohnya, maka dia itu tertolak." (Riwayat Bukhari dan Muslim)Ini, adalah karena hakikat AGAMA --atau katakanlah IBADAH-- itu tercermin dalam dua hal, yaitu:
Oleh karena itu, barangsiapa mengada-ada suatu cara
ibadah yang timbul dari dirinya sendiri --apapun macamnya--
adalah suatu kesesatan yang harus ditolak. Sebab hanya
syari'lah yang berhak menentukan cara ibadah yang dapat
dipakai untuk bertaqarrub kepadaNya.
Adapun masalah Adat atau Mu'amalat, sumbernya bukan dari
syari', tetapi manusia itu sendiri yang menimbulkan dan
mengadakan. Syari' dalam hal ini tugasnya adalah untuk
membetulkan, meluruskan, mendidik dan mengakui, kecuali
dalam beberapa hal yang memang akan membawa kerusakan dan
mudharat.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata: "Sesungguhnya sikap
manusia, baik yang berbentuk omongan ataupun perbuatan ada
dua macam: ibadah untuk kemaslahatan agamanya, dan kedua
adat (kebiasaan) yang sangat mereka butuhkan demi
kemaslahatan dunia mereka Maka dengan terperincinya
pokok-pokok syariat, kita dapat mengakui, bahwa seluruh
ibadah yang telah dibenarkannya, hanya dapat ditetapkan
dengan ketentuan syara' itu sendiri."
Adapun masalah Adat yaitu yang biasa dipakai ummat
manusia demi kemaslahatan dunia mereka sesuai dengan apa
yang mereka butuhkan, semula tidak terlarang. Semuanya
boleh, kecuali hal-hal yang oleh Allah dilarangnya Demikian
itu adalah karena perintah dan larangan, kedua-duanya
disyariatkan Allah. Sedang ibadah adalah termasuk yang mesti
diperintah. Oleh karena itu sesuatu, yang tidak diperintah,
bagaimana mungkin dihukumi terlarang.
Imam Ahmad dan beberapa ahli fiqih lainnya berpendapat:
pokok dalam urusan ibadah adalah tauqif (bersumber pada
ketetapan Allah dan Rasul). Oleh karena itu ibadah tersebut
tidak boleh dikerjakan, kecuali kalau ternyata telah
disyariatkan oleh Allah. Kalau tidak demikian, berarti kita
akan termasuk dalam apa yang disebutkan Allah:
"Apakah mereka itu mempunyai sekutu yang mengadakan agama untuk mereka, sesuatu yang tidak diizinkan oleh Allah?" (as-Syura: 21)Sedang dalam persoalan Adat prinsipnya boleh. Tidak satupun yang terlarang, kecuali yang memang telah diharamkan. Kalau tidak demikian, maka kita akan termasuk dalam apa yang dikatakan Allah: "Katakanlah! Apakah kamu sudah mengetahui sesuatu yang diturunkan Allah untuk kamu daripada rezeki, kemudian kamu jadikan daripadanya itu haram dan halal? Katakanlah! Apakah Allah telah memberi izin kepadamu, ataukah kamu memang berdusta atas (nama) Allah?" (Yunus: 59) Dengan dasar itulah maka manusia dapat melakukan jual-beli dan sewa-menyewa sesuka hatinya, selama dia itu tidak diharamkan oleh syara'. Begitu juga mereka bisa makan dan minum sesukanya, selama dia itu tidak diharamkan oleh syara', sekalipun sebagiannya ada yang oleh syara' kadangkadang disunnatkan dan ada kalanya dimakruhkan. Sesuatu yang oleh syara' tidak diberinya pembatasan, mereka dapat menetapkan menurut kemutlakan hukum asal.3 Prinsip di atas, sesuai dengan apa yang disebut dalam Hadis Nabi yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari, dari Jabir bin Abdillah, ia berkata: "Kami pernah melakukan 'azl'4, sedang waktu itu al-Quran masih turun; kalau hal tersebut dilarang, niscaya al-Quran akan melarangnya."Ini menunjukkan, bahwa apa saja yang didiamkan oleh wahyu, bukanlah terlarang. Mereka bebas untuk mengerjakannya, sehingga ada nas yang melarang dan mencegahnya. Demikianlah salah satu daripada kesempurnaan kecerdasan para sahabat. Dan dengan ini pula, ditetapkan suatu kaidah: "Soal ibadah tidak boleh dikerjakan kecuali dengan syariat yang ditetapkan Allah; dan suatu hukum adat tidak boleh diharamkan, kecuali dengan ketentuan yang diharamkan oleh Allah." Menentukan Halal-Haram Semata-Mata Hak AllahDASAR kedua: Bahwa Islam telah memberikan suatu batas wewenang untuk menentukan halal dan haram, yaitu dengan melepaskan hak tersebut dari tangan manusia, betapapun tingginya kedudukan manusia tersebut dalam bidang agama maupun duniawinya. Hak tersebut semata-mata ditangan Allah.Bukan pastor, bukan pendeta, bukan raja dan bukan sultan yang berhak menentukan halal-haram. Barangsiapa bersikap demikian, berarti telah melanggar batas dan menentang hak Allah dalam menetapkan perundang-undangan untuk ummat manusia. Dan barangsiapa yang menerima serta mengikuti sikap tersebut, berarti dia telah menjadikan mereka itu sebagai sekutu Allah, sedang pengikutnya disebut "musyrik". Firman Allah: "Apakah mereka itu mempunyai sekutu yang mengadakan agama untuk mereka, sesuatu yang tidak diizinkan Allah?" (as-Syura: 21)Al-Quran telah mengecap ahli kitab (Yahudi dan Nasrani) yang telah memberikan kekuasaan kepada para pastor dan pendeta untuk menetapkan halal dan haram, dengan firmannya sebagai berikut: "Mereka itu telah menjadikan para pastor dan pendetanya sebagai tuhan selain Allah; dan begitu juga Isa bin Maryam (telah dituhankan), padahal mereka tidak diperintah melainkan supaya hanya berbakti kepada Allah Tuhan yang Esa, tiada Tuhan melainkan Dia, maha suci Allah dari apa-apa yang mereka sekutukan." (at-Taubah: 31)'Adi bin Hatim pada suatu ketika pernah datang ke tempat Rasulullah --pada waktu itu dia lebih dekat pada Nasrani sebelum ia masuk Islam-- setelah dia mendengar ayat tersebut, kemudian ia berkata: Ya Rasulullah Sesungguhnya mereka itu tidak menyembah para pastor dan pendeta itu. Maka jawab Nabi s.a.w.: "Betul! Tetapi mereka (para pastor dan pendeta) itu telah menetapkan haram terhadap sesuatu yang halal, dan menghalalkan sesuatu yang haram, kemudian mereka mengikutinya. Yang demikian itulah penyembahannya kepada mereka." (Riwayat Tarmizi)Orang-orang Nasrani tetap beranggapan, bahwa Isa al-Masih telah memberikan kepada murid-muridnya --ketika beliau naik ke langit-- suatu penyerahan (mandat) untuk menetapkan halal dan haram dengan sesuka hatinya. Hal ini tersebut dalam Injil Matius 18:18 yang berbunyi sebagai berikut: "Sesungguhnya aku berkata kepadamu, barang apa yang kamu ikat di atas bumi, itulah terikat kelak di sorga; dan barang apa yang kamu lepas di atas bumi, itupun terlepas kelak di sorga." Al-Quran telah mengecap juga kepada orang-orang musyrik yang berani mengharamkan dan menghalalkan tanpa izin Allah, dengan kata-katanya sebagai berikut: "Katakanlah! Apakah kamu menyetahui apa-apa yang Allah telah turunkan untuk kamu daripada rezeki, kemudian dijadikan sebagian daripadanya itu, haram dan halal; katakanlah apakah Allah telah memberi izin kepadamu, ataukah memang kamu hendak berdusta atas (nama) Allah?"(Yunus: 59)Dan firman Allah juga: "Dan jangan kamu berani mengatakan terhadap apa yang dikatakan oleh lidah-lidah kamu dengan dusta; bahwa ini halal dan ini haram, supaya kamu berbuat dusta atas (nama) Allah, sesungguhnya orang-orang yang berani berbuat dusta atas (nama) Allah tidak akan dapat bahagia." (an-Nahl: 116)Dari beberapa ayat dan Hadis seperti yang tersebut di atas, para ahli fiqih mengetahui dengan pasti, bahwa hanya Allahlah yang berhak menentukan halal dan haram, baik dalam kitabNya (al-Quran) ataupun melalui lidah RasulNya (Sunnah). Tugas mereka tidak lebih, hanya menerangkan hukum Allah tentang halal dan haram itu. Seperti firmanNya: "Sungguh Allah telah menerangkan kepada kamu apa yang Ia haramkan atas kamu." (al-An'am: 119)Para ahli fiqih sedikitpun tidak berwenang menetapkan hukum syara' ini boleh dan ini tidak boleh. Mereka, dalam kedudukannya sebagai imam ataupun mujtahid, pada menghindar dari fatwa, satu sama lain berusaha untuk tidak jatuh kepada kesalahan dalam menentukan halal dan haram (mengharamkan yang halal dan menghalalkan yang haram). Imam Syafi'i dalam al-Um5 meriwayatkan, bahwa Qadhi Abu Yusuf, murid Abu Hanifah pernah mengatakan: "Saya jumpai guru-guru kami dari para ahli ilmu, bahwa mereka itu tidak suka berfatwa, sehingga mengatakan: ini halal dan ini haram, kecuali menurut apa yang terdapat dalam al-Quran dengan tegas tanpa memerlukan tafsiran. Kata Imam Syafi'i selanjutnya, Ibnu Saib menceriterakan kepadaku dari ar-Rabi' bin Khaitsam --dia termasuk salah seorang tabi'in yang besar-- dia pernah berkata sebagai berikut: "Hati-hatilah kamu terhadap seorang laki-laki yang berkata: Sesungguhnya Allah telah menghalalkan ini atau meridhainya, kemudian Allah berkata kepadanya: Aku tidak menghalalkan ini dan tidak meridhainya. Atau dia juga berkata: Sesungguhnya Allah mengharamkan ini kemudian Allah akan berkata: "Dusta engkau, Aku samasekali tidak pernah mengharamkan dan tidak melarang dia." Imam Syafi'i juga pernah berkata: Sebagian kawan-kawanku pernah menceriterakan dari Ibrahim an-Nakha'i --salah seorang ahli fiqih golongan tabi'in dari Kufah-- dia pernah menceriterakan tentang kawan-kawannya, bahwa mereka itu apabila berfatwa tentang sesuatu atau melarang sesuatu, mereka berkata: Ini makruh, dan ini tidak apa-apa. Adapun yang kalau kita katakan: Ini adalah halal dan ini haram, betapakah besarnya persoalan ini! Demikianlah apa yang diriwayatkan oleh Abu Yusuf dari salafus saleh yang kemudian diambil juga oleh Imam Syafi'i dan diakuinya juga. Hal ini sama juga dengan apa yang diriwayatkan oleh Ibnu Muflih dari Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah: "Bahwa ulama-ulama salaf dulu tidak mau mengatakan haram, kecuali setelah diketahuinya dengan pasti."6 Kami dapati juga imam Ahmad, misalnya, kalau beliau ditanya tentang sesuatu persoalan, maka ia menjawab: Aku tidak menyukainya, atau hal itu tidak menyenangkan aku, atau saya tidak senang atau saya tidak menganggap dia itu baik. Mengharamkan yang Halal dan Menghalalkan yang Haram Sama dengan Syirik
KALAU Islam mencela sikap orang-orang yang suka
menentukan haram dan halal itu semua, maka dia juga telah
memberikan suatu kekhususan kepada mereka yang suka
mengharamkan itu dengan suatu beban yang sangat berat,
karena memandang, bahwa hal ini akan merupakan suatu
pengungkungan dan penyempitan bagi manusia terhadap sesuatu
yang sebenarnya oleh Allah diberi keleluasaan. Di samping
hal tersebut memang karena ada beberapa pengaruh yang
ditimbulkan oleh sementara ahli agama yang berlebihan.
Nabi Muhammad sendiri telah berusaha untuk memberantas
perasaan berlebihan ini dengan segala senjata yang mungkin.
Di antaranya ialah dengan mencela dan melaknat orang-orang
yang suka berlebih-lebihan tersebut, yaitu sebagaimana
sabdanya:
"Ingatlah! Mudah-mudahan binasalah orang-orang yang berlebih-lebihan itu." (3 kali). (Riwayat Muslim dan lain-lain)Dan tentang sifat risalahnya itu beliau tegaskan: "Saya diutus dengan membawa suatu agama yang toleran." (Riwayat Ahmad)
Yakni suatu agama yang teguh dalam beraqidah dan tauhid,
serta toleran (lapang) dalam hal pekerjaan dan
perundang-undangan. Lawan daripada dua sifat ini ialah
syirik dan mengharamkan yang halal. Kedua sifat yang akhir
ini oleh Rasulullah s.a.w. dalam Hadis Qudsinya dikatakan,
firman Allah:
"Aku ciptakan hamba-hambaKu ini dengan sikap yang lurus, tetapi kemudian datanglah syaitan kepada mereka. Syaitan ini kemudian membelokkan mereka dari agamanya, dan mengharamkan atas mereka sesuatu yang Aku halalkan kepada mereka, serta mempengaruhi supaya mereka mau menyekutukan Aku dengan sesuatu yang Aku tidak turunkan keterangan padanya." (Riwayat Muslim)
Oleh karena itu, mengharamkan sesuatu yang halal dapat
dipersamakan dengan syirik. Dan justeru itu pula al-Quran
menentang keras terhadap sikap orang-orang musyrik Arab
terhadap sekutu-sekutu dan berhala mereka, dan tentang sikap
mereka yang berani mengharamkan atas diri mereka terhadap
makanan dan binatang yang baik-baik, padahal Allah tidak
mengizinkannya. Diantaranya mereka telah mengharamkan
bahirah (unta betina yang sudah melahirkan anak kelima),
saibah (unta betina yang dinazarkan untuk berhala), washilah
(kambing yang telah beranak tujuh) dan ham (Unta yang sudah
membuntingi sepuluh kali; untuk ini dikhususkan buat
berhala).
Orang-orang Arab di zaman Jahiliah beranggapan, kalau
seekor unta betina beranak sudah lima kali sedang anak yang
kelima itu jantan, maka unta tersebut kemudian telinganya
dibelah dan tidak boleh dinaiki. Mereka peruntukkan buat
berhalanya. Karena itu tidak dipotong, tidak dibebani muatan
dan tidak dipakai untuk menarik air. Mereka namakan unta
tersebut al-Bahirah yakni unta yang dibelah telinganya.
Dan kalau ada seseorang datang dari bepergian, atau
sembuh dari sakit dan sebagainya dia juga memberikan tanda
kepada seekor untanya persis seperti apa yang diperbuat
terhadap bahirah itu. Unta tersebut mereka namakan saibah.
Kemudian kalau ada seekor kambing melahirkan anak betina,
maka anaknya itu untuk yang mempunyai; tetapi kalau anaknya
itu jantan, diperuntukkan buat berhalanya. Dan jika
melahirkan anak jantan dan betina, maka mereka katakan: Dia
telah sampai kepada saudaranya; oleh karena itu yang jantan
tidak disembelih karena diperuntukkan buat berhalanya.
Kambing seperti ini disebut washilah.
Dan jika seekor binatang telah membuntingi anak-anaknya,
maka mereka katakan: Dia sudah dapat melindungi punggungnya.
Yakni binatang tersebut tidak dinaiki, tidak dibebani muatan
dan sebagainya. Binatang seperti ini disebut al-Haami.
Penafsiran dan penjelasan terhadap keempat macam binatang
ini banyak sekali, juga berkisar dalam masalah tersebut
Al-Quran bersikap keras terhadap sikap pengharaman ini,
dan tidak menganggap sebagai suatu alasan karena taqlid
kepada nenek-moyangnya dalam kesesatan ini. Firman Allah:
"Allah tidak menjadikan (mengharamkan) bahirah, saibah, washilah dan ham, tetapi orang-orang kafirlah yang berbuat dusta atas (nama) Allah, dan kebanyakan mereka itu tidak mau berfikir. Dan apabila dikatakan kepada mereka: Mari kepada apa yang telah diturunkan Allah dan kepada Rasul, maka mereka menjawab: Kami cukup menirukan apa yang kami jumpai pada nenek-nenek moyang kami; apakah (mereka tetap akan mengikutinya) sekalipun nenek-nenek moyangnya itu tidak berpengetahuan sedikitpun dan tidak terpimpin?" (al-Maidah : 103-104)
Dalam surah al-An'am ada semacam munaqasyah (diskusi)
mendetail terhadap prasangka mereka yang telah mengharamkan
beberapa binatang, seperti: unta, sapi, kambing biri-biri
dan kambing kacangan.
Al-Quran membawakan diskusi tersebut dengan suatu gaya
bahasa yang cukup dapat mematikan, akan tetapi dapat
membangkitkan juga.
Kata al-Quran:
"Ada delapan macam binatang; dari kambing biri-biri ada dua, dan dari kambing kacangan ada dua pula; katakanlah (Muhammad): Apakah kedua-duanya yang jantan itu yang diharamkan, atau kedua-duanya yang betina ataukah semua yang dikandung dalam kandungan yang betina kedua-duanya? (Cobalah) beri penjelasan aku dengan suatu dalil, jika kamu orang-orang yang benar! Begitu juga dari unta ada dua macam,- dan dari sapi ada dua macam juga; katakanlah (Muhammad!) apakah kedua-duanya yang jantan itu yang diharamkan, ataukah kedua-duanya yang betina?" (al-An'am: 143-144)
Di surah al-A'raf pun ada juga munaqasyah tersebut dengan
suatu penegasan keingkaran Allah terhadap orang-orang yang
suka mengharamkan dengan semaunya sendiri itu; di samping
Allah menjelaskan juga beberapa pokok binatang yang
diharamkan untuk selamanya. Ayat itu berbunyi sebagai
berikut:
"Katakanlah! Siapakah yang berani mengharamkan perhiasan Allah yang telah diberikan kepada hamba-hambaNya dan beberapa rezeki yang baik itu? Katakanlah! Tuhanku hanya mengharamkan hal-hal yang tidak baik yang timbul daripadanya dan apa yang tersembunyi dan dosa dan durhaka yang tidak benar dan kamu menyekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak turunkan keterangan padanya dan kamu mengatakan atas (nama) Allah dengan sesuatu yang kamu tidak mengetahui." (al-A'raf: 32-33)
Seluruh munaqasyah ini terdapat pada surah-surah Makiyyah
yang diturunkan demi mengkukuhkan aqidah dan tauhid serta
ketentuan di akhirat kelak. Ini membuktikan, bahwa persoalan
tersebut, dalam pandangan al-Quran, bukan termasuk dalam
kategori cabang atau bagian, tetapi termasuk masalah-masalah
pokok dan kulli.
Di Madinah timbul di kalangan pribadi-pribadi kaum
muslimin ada orang-orang yang cenderung untuk berbuat
keterlaluan, melebih-lebihkan dan mengharamkan dirinya dalam
hal-hal yang baik. Untuk itulah maka Allah menurunkan
ayat-ayat muhkamah (hukum) untuk menegakkan mereka dalam
batas-batas ketentuan Allah dan mengernbalikan mereka ke
jalan yang lempang.Di antara ayat-ayat itu berbunyi sebagai berikut: "Hai orang-orang yang beriman: Janganlah kamu mengharamkan yang baik-baik (dari) apa yang Allah telah halalkan buat kamu, dan jangan kamu melewati batas, karena sesungguhnya Allah tidak suka kepada orang-orang yang suka melewati batas. Dan makanlah sebagian rezeki yang Allah berikan kepadamu dengan halal dan baik, dan takutlah kamu kepada Allah zat yang kamu beriman dengannya." (al-Maidah: 87-88) Mengharamkan yang Halal akan Berakibat Timbulnya Kejahatan dan BahayaDI ANTARA hak Allah sebagai Zat yang menciptakan manusia dan pemberi nikmat yang tiada terhitung banyaknya itu, ialah menentukan halal dan haram dengan sesukanya, sebagaimana Dia juga berhak menentukan perintah-perintah dan syi'ar-syi'ar ibadah dengan sesukanya. Sedang buat manusia sedikitpun tidak ada hak untuk berpaling dan melanggar.Ini semua adalah hak Ketuhanan dan suatu kepastian persembahan yang harus mereka lakukan untuk berbakti kepadaNya. Namun, Allah juga berbelas-kasih kepada hambaNya. Oleh karena itu dalam Ia menentukan halal dan haram dengan alasan yang ma'qul (rasional) demi kemaslahatan manusia itu sendiri. Justeru itu pula Allah tidak akan menghalalkan sesuatu kecuali yang baik, dan tidak akan mengharamkan sesuatu kecuali yang jelek. Benar! Bahwa Allah pernah juga mengharamkan hal-hal yang baik kepada orang-orang Yahudi. Tetapi semua itu merupakan hukuman kepada mereka atas kedurhakaan yang mereka perbuat dan pelanggarannya terhadap larangan Allah. Hai ini telah dijelaskan sendiri oleh Allah dalam firman Nya: "Dan kepada orang-orang Yahudi kami haramkan semua binatang yang berkuku, dan dari sapi dan kambing kami haramkan lemak-lemaknya, atau (lemak) yang terdapat di punggungnya, atau yang terdapat dalam perut, atau yang tercampur dengan tulang. Yang demikian itu kami (sengaja) hukum mereka lantaran kedurhakaan mereka, dan sesungguhnya kami adalah (di pihak) yang benar." (al-An'am: 146)Di antara bentuk kedurhakaannya itu telah dijelaskan Allah dalam surah lain, yang antara lain berbunyi sebagai berikut: "Sebab kezaliman yang dilakukan oleh orang-orang Yahudi itu, maka kami haramkan atas mereka (makanan-makanan) yang baik yang tadinya telah dihalalkan untuk mereka; dan sebab gangguan mereka terhadap agama Allah dengan banyak; dan sebab mereka memakan harta riba padahal telah dilarangnya; dan sebab mereka memakan harta manusia dengan cara yang batil." (an-Nisa': 160-161)Setelah Allah mengutus Nabi Muhammad, sebagai Nabi terakhir dengan membawa agama yang universal dan abadi, maka salah satu di antara rahmat kasih Allah kepada manusia, sesudah manusia itu matang dan dewasa berfikir, dihapusnya beban haram yang pernah diberikan Allah sebagai hukuman sementara yang bermotif mendidik itu, di mana beban tersebut cukup berat dan menegangkan leher masyarakat. Kerasulan Nabi Muhammad ini telah disebutkan dalam Taurat, dan namanya pun sudah dikenal oleh ahli-ahli kitab, yaitu seperti yang disebutkan dalam al-Quran: "Mereka (ahli kitab) itu mengetahui dia (nama Muhammad) tertulis di sisi mereka dalam Taurat dan Injil --dengan tugas-- untuk mengajak kepada kebajikan dan melarang daripada kemungkaran, dan menghalalkan kepada mereka yang baik-baik, dan mengharamkan atas mereka yang tidak baik, serta mencabut dari mereka beban mereka dan belenggu yang ada pada mereka." (al-A'raf: 157)Di dalam Islam caranya Allah menutupi kesalahan, bukan dengan mengharamkan barang-barang baik yang lain, tetapi ada beberapa hal yang di antaranya ialah:
Kaidah ini diperjelas sendiri oleh al-Quran, misalnya tentang arak, Allah berfirman: "Mereka menanyakan kepadamu (Muhammad) tentang hukumnya arak dan berjudi, maka jawablah: bahwa keduanya itu ada suatu dosa yang besar, di samping dia juga bermanfaat bagi manusia, tetapi dosanya lebih besar daripada manfaatnya." (al-Baqarah: 219)Dan begitu juga suatu jawaban yang tegas dari Allah ketika Nabi Muhammad ditanya tentang masalah halal dalam Islam. Jawabannya singkat Thayyibaat (yang baik-baik). Yakni segala sesuatu yang oleh jiwa normal dianggapnya baik dan layak untuk dipakai di masyarakat yang bukan timbul karena pengaruh tradisi, maka hal itu dipandang thayyib (baik, bagus, halal). Begitulah seperti yang dikatakan Allah dalam al-Quran: "Mereka akan bertanya kepadamu (Muhammad) tentang apa saja yang dihalalkan untuk mereka? Maka jawablah: semua yang baik adalah dihalalkan buat kamu." (al-Maidah: 4)Dan firmanNya pula: "Pada hari ini telah dihalalkan untuk kamu semua yang baik." (al-Maidah: 5)Oleh karena itu tidak layak bagi seorang muslim yang mengetahui dengan rinci tentang apa yang disebut jelek dan bahaya yang justeru karenanya hal tersebut diharamkan Allah, kemudian kadang-kadang dia akan menyembunyikan sesuatu yang mungkin nampak pada orang lain. Sebab kadang-kadang ada juga sesuatu kejelekan yang tidak tampak pada suatu masa, tetapi di waktu lain dia akan tampak. Waktu itu setiap mu'min harus mengatakan Sami'na Wa'athanaa (kami mendengarkan dan kami mematuhi). Tidaklah kamu mengetahui, bahwa Allah telah mengharamkan daging babi, tetapi tidak seorang Islam pun yang mengerti sebab diharamkannya daging babi itu, selain karena kotor. Tetapi kemudian dengan kemajuan zaman, ilmu pengetahuan telah menyingkapkan, bahwa di dalam daging babi itu terdapat cacing pita dan bakteri yang membunuh. Kalau sekiranya ilmu pengetahuan tidak membuka sesuatu yang terdapat dalam daging babi itu seperti tersebut di atas atau lebih dari itu, niscaya sampai sekarang ummat Islam tetap berkeyakinan, bahwa diharamkannya daging babi itu justeru karena najis (rijsun). Contoh lain, misalnya Hadis Nabi yang mengatakan: "Takutlah kamu kepada tiga pelaknat (tiga perkara yang menyebabkan seseorang mendapat laknat Allah), yaitu: buang air besar (berak) di tempat mata air, di jalan besar dan di bawah pohon (yang biasa dipakai berteduh)." (Riwayat Abu Daud, Ibnu Majah, Hakim dan Baihaqi)Pada abad-abad permulaan tidak seorang pun tahu selain hanya karena kotor, yang tidak dapat diterima oleh perasaan yang sehat dan kesopanan umum. Tetapi setelah ilmu pengetahuan mencapai puncak kemajuannya, maka akhirnya kita mengetahui, bahwa justeru tiga pelaknat di atas adalah memang sangat berbahaya bagi kesehatan umum. Dia merupakan pangkal berjangkitnya wabah penyakit anak-anak, seperti anchylostoma dan bilharzia. Begitulah, setelah sinar ilmu pengetahuan itu dapat menembus dan meliputi lapangan yang sangat luas, maka kita menjadi makin jelas untuk mengetahui halal dan haram serta rahasia setiap hukum. Bagaimana tidak! Sebab dia adalah hukum yang dibuat oleh Zat yang Maha Tahu, Maha Bijaksana dan Maha Berbelas-kasih kepada hambaNya. Yaitu seperti yang difirmankan Allah dalam al-Quran: "Allah mengetahui orang yang suka berbuat jahat dari pada orang yang berbuat baik; dan jika Allah mau, niscaya Ia akan beratkan kamu, karena sesungguhnya Allah Maha Gagah dan Maha Bijaksana." (al-Baqarah: 220)Halal dan Haram dalam Islam Oleh Syekh Muhammad Yusuf Qardhawi |
Halal dan Haram
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment